In Memoriam Presiden Sarkub: Gus Dur
Seorang cendekiawan muda Aswaja, Drs. Sururi Arrumbani, M.Kub mengatakan: “Salah satu orang yang dikenal luas sebagai penelusur situs-situs makam ulama (wali) adalah Gus Dur”. Apa yang dilakukannya tidak sekedar ziarah, berdo’a dan untuk kepentingan diri sendiri. Tetapi apa yang dilakukan selama ini telah meninggalkan jejak bertebaran dan menjadi inspirasi banyak orang.
Dalam kitab primbon literatur Sarkub (Sarjana Kuburan), beliau disebut sebagai Presiden Sarkub, satu-satunya presiden yang kerap nyarkub ziarah ke makam-makam auliya. Dan juga gelar Profesor Sarkub telah dikukuhkan oleh Universitas Menyan Indonesia.
Makam yang dulu tidak dikenali, setelah kedatangan beliau, menjadi situs yang kemudian banyak diziarahi. Masyarakat yang sebelumnya tidak mengenal dengan para tokoh ulama tempo doele, pada akhirnya berusaha untuk menggali lebih dalam keberadaan tokoh yang sudah diungkap oleh Gus Dur.
Sungguh itu merupakan pembelajaran yang mencerdaskan, karena selalu memberi tantangan bagi mereka yang benar-benar serius untuk menggali sejarah situs-situs makam tersebut. Pada akhirnya, kita semua diajak kembali kepada sejarah perjuangan para leluhur sebelumnya.
Banyak contoh dan teladan dari para oelama doeloe yang bisa ditransformasikan dalam konteks kekinian. Pun demikian kita menjadi bisa lebih memahami segala aspek sosial dan lingkungan dimana kita hidup.
Jika, dari mereka yang masih hidup jarang yang bisa kita teladani, maka kepada mereka yang sudah mati, kita bisa bangkitkan keteladanannya.
“Anda boleh tidak bersepakat dengan saya, tapi itulah yang saya pahami”, ujar Pakar Makam, Mbah Sururi Arrumbani, M.Kub
.
Sepenggal Kisah Presiden Sarkub Gus Dur.
Suatu ketika KH. Zainal Arifin, pengasuh PP. Al Arifiyyah Medono Kota Pekalongan ,diminta tolong oleh panitia untuk menjemput Al-Maghfurlah KH. Abdurahman Wahid atau Gus Dur untuk mengisi sebuah acara akbar di Kota Pekalongan.
Waktu itu panitia minta didampingi Kiai Zainal untuk menjemput Gus Dur yang sedang mengisi acara pengajian di Semarang Jateng. Seusai acara dan ramah-tamah dengan para tamu, Gus Dur memutuskan untuk ikut rombongan Kiai Zainal dan Panitia ke Pekalongan.
Waktu itu kurang lebih pukul 1 atau 2 dinihari. Kiai Zainal dan Panitia, setelah berbincang secukupnya dengan Gus Dur, tahu diri mempersilahkan Gus Dur untuk Istirahat di mobil yang melaju dengan tenang. Maklum, jalur pantura pada jam segitu juga sudah lengang.
Kita tahu Gus Dur kondisi fisiknya terbatas, kesehatannya juga mulai menurun, serta jadwal juga padat. Tentu saja sesuai logika norrmal, aktivitas ini akan menguras tenaga dan pikiran Gus Dur. Tapi, alih-alih istirahat di dalam mobil yang melaju dengan tenang tersebut, Gus Dur malah masih membaca Al-Qur’an dengan hafalan (Bil Ghoib).
Sementara itu, Kiai Zainal dan panitia yang jelas secara fisik lebih sehat 100% dibanding Gus Dur sudah kecapekan dan hampir terlelap, kaget ketika mendengar Gus Dur dengan suara lamat-lamat ‘mendaras’ Al-Qur’an secara hafalan.
Kontan rasa kantuk Kiai Zainal dkk hilang. Dengan penasaran Kiai Zainal dkk menyimak hafalan Gus dur. Tak terasa 1 jam lewat. Sampailah rombongan itu di Pekalongan. Air mata Kiai Zainal dkk tumpah ruah. Ia membayangkan orang yang selama ini sering disalahpahami berbagai pihak, dicaci-maki, dikutuk, dikafirkan, difitnah, dicemo’oh dst, malam itu dengan kondisi fisik dan kesehatan yang sangat terbatas, dan kelelahan yang luar biasa setelah hampir sehari semalam beraktifitas penuh dengan berbagai kegiatan, malam itu dalam waktu 1 jam perjalanan Semarang-Pekalongan ternyata masih ‘menyempatkan’ membaca Al-Qur’an dengan hafalan sampai 5 juz lebih..!
Apakah mereka yang mengkafir-kafirkan beliau sanggup melakukan hal demikian? Subhanallah. Ternyata ini salah satu kebiasaan Gus Dur jika berada di dalam perjalanan. Bukan seperti kita, alih-alih baca Al-Qur’an, berdoa saja kadang lupa, malah mendengarkan musik. Entahlah, saya tak tahu kebiasaan mereka yang merasa lebih ‘Islami’ dari Gus Dur.
Demikian kisah dari Al-Mukarrom KH. Zimam Hanifun Nusuk “Gus Zimam Hanif.”
Minggu, 24 Juli 2016
MBAH WALI GUS DUR - MBAH WALI LIEM IMAMPURO KLATEN (Oleh :Shuniyya Ruhama)
SAMBUNGROSO DUA WALI
MBAH WALI GUS DUR - MBAH WALI LIEM IMAMPURO KLATEN
Oleh : Shuniyya Ruhama (Admin Grup Sahabat Gus Dur)
Kisah hikmah ini diceritakan langsung oleh Mbak Alissa Wahid, putri sulung dari Mbah Wali Gus Dur. Terjadi ketika Mbak Alissa menimba ilmu di Yogyakarta, tepatnya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Pada saat itu, sebagai putri dari seorang tokoh besar Nasional, tidak terbayangkan oleh kita bahwa beliau bisa dibilang minim fasilitas. Bahkan sepeda motor-pun tidak punya. Tidak seperti pada umumnya mahasiswa yang berasal dari putra-putri para tokoh Nasional lainnya.
Pada suatu hari, Mbak Alissa mengajukan permintaan untuk memiliki sepeda motor kepada Ayahanda. Dengan santainya dijawab bahwa beliau tidak punya uang untuk memenuhi permintaan putri beliau.
Mbak Alissa-pun heran. Sebab, beliau tahu persis bahwa Sang Ayah kerap sekali mendapat “salam tempel” yang tebal dan isinya juga banyak. Bagaimana bisa dengan mudah sekali mengatakan bahwa beliau tidak punya uang?
Karena tak tahan, akhirnya bertanya juga Mbak Alissa, “Bukannya uang Bapak banyak sekali, itu di laci penuh dengan uang”.
Dengan tegas Mbah Wali Gus Dur menjawab, “Itu bukan milik kita, itu milik umat !”
Mbak Alissa pasrah, sebab, kalau ayahanda sudah menegaskan sesuatu pasti bujuk rayu tidak akan berhasil. Belakang hari barulah diketahui bahwa Mbah Wali Gus Dur sama sekali tidak pernah mengambil sepeserpun uang dari bisyaroh atau pemberian uang dari para Jamaah atau tokoh dan semua kalangan yang sowan ke beliau. Semua akan beliau terima dan disalurkan kepada yang berhak. Menurut cerita, sering sekali tanpa dibuka terlebih dahulu berapa isinya.
Hingga suatu hari tanpa dinyana tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba Mbah Kyai Muslim “Liem” Imampuro Klaten mendatangi tempat tinggal Mbak Alissa sambil membawa motor dan dhawuh, “Kadose Ning Alissa lebih membutuhkan motor ini”. Dan motor tersebut diserahkan begitu saja kepada Mbak Alissa yang setengah tidak percaya mengalami kejadian ini.
Bagaimana bisa Mbah Liem bisa sampai mengetahui keinginan beliau. Pastinya Sang Ayahanda tidak pernah menyatakan hal ini kepada Mbah Liem. Namun demikianlah kenyataan yang terjadi.
Inilah salah satu bukti ketika dua kekasih Allah bertemu dan berpisah karenaNya, maka apa yang menjadi keinginan di kalbu sekalipun tidak terucap tapi bisa saling terhubung. Mbah Liem seakan mendengar suara hati Mbah Wali Gus Dur yang tentu saja sedih sekali karena tidak mampu memenuhi keinginan putrinya. Dan melalui beliau pulalah, Gusti Allah mengabulkan keinginan Mbak Alissa. Allahu akbar.
Ila hadroti arwahi Mbah Wali Gus Dur wa Mbah Wali Lim Imampuro ... Lahuma Al Fatihah...
Shuniyya Ruhama
Pengajar Ponpes Tahfidzul Quran Al Istiqomah-Weleri
MBAH WALI GUS DUR - MBAH WALI LIEM IMAMPURO KLATEN
Oleh : Shuniyya Ruhama (Admin Grup Sahabat Gus Dur)
Kisah hikmah ini diceritakan langsung oleh Mbak Alissa Wahid, putri sulung dari Mbah Wali Gus Dur. Terjadi ketika Mbak Alissa menimba ilmu di Yogyakarta, tepatnya di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada.
Pada saat itu, sebagai putri dari seorang tokoh besar Nasional, tidak terbayangkan oleh kita bahwa beliau bisa dibilang minim fasilitas. Bahkan sepeda motor-pun tidak punya. Tidak seperti pada umumnya mahasiswa yang berasal dari putra-putri para tokoh Nasional lainnya.
Pada suatu hari, Mbak Alissa mengajukan permintaan untuk memiliki sepeda motor kepada Ayahanda. Dengan santainya dijawab bahwa beliau tidak punya uang untuk memenuhi permintaan putri beliau.
Mbak Alissa-pun heran. Sebab, beliau tahu persis bahwa Sang Ayah kerap sekali mendapat “salam tempel” yang tebal dan isinya juga banyak. Bagaimana bisa dengan mudah sekali mengatakan bahwa beliau tidak punya uang?
Karena tak tahan, akhirnya bertanya juga Mbak Alissa, “Bukannya uang Bapak banyak sekali, itu di laci penuh dengan uang”.
Dengan tegas Mbah Wali Gus Dur menjawab, “Itu bukan milik kita, itu milik umat !”
Mbak Alissa pasrah, sebab, kalau ayahanda sudah menegaskan sesuatu pasti bujuk rayu tidak akan berhasil. Belakang hari barulah diketahui bahwa Mbah Wali Gus Dur sama sekali tidak pernah mengambil sepeserpun uang dari bisyaroh atau pemberian uang dari para Jamaah atau tokoh dan semua kalangan yang sowan ke beliau. Semua akan beliau terima dan disalurkan kepada yang berhak. Menurut cerita, sering sekali tanpa dibuka terlebih dahulu berapa isinya.
Hingga suatu hari tanpa dinyana tanpa diduga sebelumnya, tiba-tiba Mbah Kyai Muslim “Liem” Imampuro Klaten mendatangi tempat tinggal Mbak Alissa sambil membawa motor dan dhawuh, “Kadose Ning Alissa lebih membutuhkan motor ini”. Dan motor tersebut diserahkan begitu saja kepada Mbak Alissa yang setengah tidak percaya mengalami kejadian ini.
Bagaimana bisa Mbah Liem bisa sampai mengetahui keinginan beliau. Pastinya Sang Ayahanda tidak pernah menyatakan hal ini kepada Mbah Liem. Namun demikianlah kenyataan yang terjadi.
Inilah salah satu bukti ketika dua kekasih Allah bertemu dan berpisah karenaNya, maka apa yang menjadi keinginan di kalbu sekalipun tidak terucap tapi bisa saling terhubung. Mbah Liem seakan mendengar suara hati Mbah Wali Gus Dur yang tentu saja sedih sekali karena tidak mampu memenuhi keinginan putrinya. Dan melalui beliau pulalah, Gusti Allah mengabulkan keinginan Mbak Alissa. Allahu akbar.
Ila hadroti arwahi Mbah Wali Gus Dur wa Mbah Wali Lim Imampuro ... Lahuma Al Fatihah...
Shuniyya Ruhama
Pengajar Ponpes Tahfidzul Quran Al Istiqomah-Weleri
Jumat, 15 Juli 2016
Sesama Setan Dilarang Saling Melempar (Oleh : Abdul Rofik, Admin Grup Sahabat Gus Dur)
Sesama Setan Dilarang Saling Melempar
Oleh : Abdul Rofik
(Admin Grup Sahabat Gus Dur)
Gus Dur seperti tidak pernah kehabisan cerita, khususnya yang bernada sindiran politik. Menurut dia, ada kejadian menarik di masa pemerintah Orde Baru. Suatu kali Presiden Soeharto berangkat ke Mekkah untuk berhaji. Karena yang pegi seorang persiden, tentu sejumlah menteri harus ikut mendampingi. Salah satunya "peminta pertunjuk" yang paling rajin, Menteri Penerangan Harmoko. Setelah melewati beberapa ritual haji, rombongan Soeharto pun melaksanakan jumrah, yakni simbol untuk mengusir setan dengan cara melempar batu ke sebuah tiang mirip patung. Di sini lah muncul masalah, terutama bagi Harmoko. Beberapa kali batu yang dilemparkannya selau berbalik menghantam jidatnya. "Wah kenapa jadi begini ya?" cerita Gus Dus menuturkan pernyataan Harmoko yang saat itu tampak gemetar karena takut. Lalu Harmoko pindah posisi. Hasilnya sama saja, batu yang dilemparnya seperti ada yang melempar balik ke arah dirinya. Setelah tujuh kali lemparan hasilnya selalu sama, Harmoko pun menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari posisi presiden untuk "minta petunjuk". Setelah ketemu, lalu dengan lega ia tergopoh-gopoh menghampiri Bapak Presiden. Namun, sebelum sampai di hadapan Soeharto, ia turut mendengar bisikan "Hai manusia, sesama setan jangan saling lempar.
Oleh : Abdul Rofik
(Admin Grup Sahabat Gus Dur)
Gus Dur seperti tidak pernah kehabisan cerita, khususnya yang bernada sindiran politik. Menurut dia, ada kejadian menarik di masa pemerintah Orde Baru. Suatu kali Presiden Soeharto berangkat ke Mekkah untuk berhaji. Karena yang pegi seorang persiden, tentu sejumlah menteri harus ikut mendampingi. Salah satunya "peminta pertunjuk" yang paling rajin, Menteri Penerangan Harmoko. Setelah melewati beberapa ritual haji, rombongan Soeharto pun melaksanakan jumrah, yakni simbol untuk mengusir setan dengan cara melempar batu ke sebuah tiang mirip patung. Di sini lah muncul masalah, terutama bagi Harmoko. Beberapa kali batu yang dilemparkannya selau berbalik menghantam jidatnya. "Wah kenapa jadi begini ya?" cerita Gus Dus menuturkan pernyataan Harmoko yang saat itu tampak gemetar karena takut. Lalu Harmoko pindah posisi. Hasilnya sama saja, batu yang dilemparnya seperti ada yang melempar balik ke arah dirinya. Setelah tujuh kali lemparan hasilnya selalu sama, Harmoko pun menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari-cari posisi presiden untuk "minta petunjuk". Setelah ketemu, lalu dengan lega ia tergopoh-gopoh menghampiri Bapak Presiden. Namun, sebelum sampai di hadapan Soeharto, ia turut mendengar bisikan "Hai manusia, sesama setan jangan saling lempar.
Sabtu, 09 Juli 2016
Istana Untuk Rakyat (Oleh : Hasan Bisri)
Saat lebaran, Presiden Gus Dur ingin open house di Istana Merdeka. Menerima rakyat, siapapun dan dari manapun, dalam suasana Idul Fitri. Gus Dur ingin istana kepresidenan menjadi benar-benar istana rakyat.
Bagian kerumahtanggaan istana menyarankan agar presiden menerima rakyat di teras istana saja. Apa daya, Gus Dur malah bersikeras ingin agar Open House digelar di ruang utama (credential room), tempat presiden menerima presiden negara ĺain, duta besar, dan tamu kehormatan negara lain.
Perkaranya, karpet di ruang utama masih kinyis-kinyis, masih baru. Gres.
"Lha karpet itu kan rakyat juga yang beli...." jawab Gus Dur menegaskan keinginannya.
Maka, jadilah momentum Idul Fitri tahun 2000 itu Lebaran Rakyat. Ribuan rakyat antri mengular ingin menikmati Istana Merdeka dari dekat. Ada yang bersepatu dan berpakaian rapi, ada yang bersarung, bahkan ada yang bercelana kumal bersandal jepit karet yang talinya disambung rafia karena putus. Yang terakhir ini berasal dari Lamongan, demikian pengakuan pria ini kepada wartawan. Ia berangkat khusus demi momentum ini.
Rombongan tuna netra juga hadir, tukang kebon dan pasukan kuning di Tugus Monas malah hadir dengan baju kebesaran berwarna oranye dan aroma yang khas sampah. Anak-anak jalanan juga datang diiringi orangtuanya. Semua diterima oleh Presiden Gus Dur.
Lucunya, Menteri Pertahanan Mahfud MD bersama istri yang datang telat memilih ikut antri, meski sebagai anggota kabinet ia bisa melewati jalur khusus. Pak Mahfud malah senyum-senyum meladeni rakyat yang ingin berjabat tangan dengannya.
Hari itu, istana megah benar-benar dikukuhkan Gus Dur sebagai istana rakyat dan mereka dijamu dengan spesial. Karpet istana yang mahal dan mewah, yang dibeli memakai uang rakyat, benar-benar dinikmati rakyat. Karpet berwarna biru tua dengan kembang-kembang kuning keemasan di sepanjang tepiannya itu telah kumal terinjak oleh kaki rakyat yang sebelumnya menjejak gerimis di tanah.
Hari itu, Istana Merdeka benar benar menjadi istana rakyat.
(Diolah dari "Presiden Gus Dur: The Untold Story", karya Pak Priyo Sambadha Wirowijoyo, hlm. 82-88)
Bagian kerumahtanggaan istana menyarankan agar presiden menerima rakyat di teras istana saja. Apa daya, Gus Dur malah bersikeras ingin agar Open House digelar di ruang utama (credential room), tempat presiden menerima presiden negara ĺain, duta besar, dan tamu kehormatan negara lain.
Perkaranya, karpet di ruang utama masih kinyis-kinyis, masih baru. Gres.
"Lha karpet itu kan rakyat juga yang beli...." jawab Gus Dur menegaskan keinginannya.
Maka, jadilah momentum Idul Fitri tahun 2000 itu Lebaran Rakyat. Ribuan rakyat antri mengular ingin menikmati Istana Merdeka dari dekat. Ada yang bersepatu dan berpakaian rapi, ada yang bersarung, bahkan ada yang bercelana kumal bersandal jepit karet yang talinya disambung rafia karena putus. Yang terakhir ini berasal dari Lamongan, demikian pengakuan pria ini kepada wartawan. Ia berangkat khusus demi momentum ini.
Rombongan tuna netra juga hadir, tukang kebon dan pasukan kuning di Tugus Monas malah hadir dengan baju kebesaran berwarna oranye dan aroma yang khas sampah. Anak-anak jalanan juga datang diiringi orangtuanya. Semua diterima oleh Presiden Gus Dur.
Lucunya, Menteri Pertahanan Mahfud MD bersama istri yang datang telat memilih ikut antri, meski sebagai anggota kabinet ia bisa melewati jalur khusus. Pak Mahfud malah senyum-senyum meladeni rakyat yang ingin berjabat tangan dengannya.
Hari itu, istana megah benar-benar dikukuhkan Gus Dur sebagai istana rakyat dan mereka dijamu dengan spesial. Karpet istana yang mahal dan mewah, yang dibeli memakai uang rakyat, benar-benar dinikmati rakyat. Karpet berwarna biru tua dengan kembang-kembang kuning keemasan di sepanjang tepiannya itu telah kumal terinjak oleh kaki rakyat yang sebelumnya menjejak gerimis di tanah.
Hari itu, Istana Merdeka benar benar menjadi istana rakyat.
(Diolah dari "Presiden Gus Dur: The Untold Story", karya Pak Priyo Sambadha Wirowijoyo, hlm. 82-88)
Langganan:
Postingan (Atom)