Kisah lain yang dituturkan Gus Mus adalah tentang arsitek menuju jabatan presiden. Gus Mus menduga, tidak banyak orang tahu, bahwa salah satu arsitek khittah NU 26 adalah dr. Fahmi D. Saifuddin (alm.), putra Menteri Agama K.H. Saifuddin Zuhri, kakak Lukman Hakim Saifuddin (kini Menteri Agama RI).
Fahmi pernah menjadi dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, dan dia merupakan dekan teladan yang memperoleh banyak penghargaan. Dia juga salah satu ketua PBNU. Dr. Fahmi, menurut Gus Mus, bukan hanya arsitek kembali ke khittah NU 26, tapi juga “arsitek” untuk Gus Dur menjadi pemimpin bangsa.
Gus Mus tahu persis bahwa dr. Fahmi adalah sahabat dekat Gus Dur. Dia telah lama menelitik karakter, pikiran, dan sepak terjang Gus Dur. Menurut Fahmi, Gus Dur perlu diantarkan untuk menjadi pemimpin masa depan bangsa dan negara ini.
Pada 1987, Fahmi membujuk, setengah mendesak, Gus Dur agar menerima ajakan Presiden Soeharto masuk Golkar dan menjadi anggota MPR. Gus Dur sesungguhnya menolak dan ingin tetap menjadi kritikus pemerintah Orde Baru, sebagai pemimpin gerakan rakyat. Lalu, Gus Dur menjawab Fahmi, “Aku emoh, wis kono takon Gus Mus wae; nek setuju, aku manut (saya tidak mau, sana tanya Gus Mus saja; kalau setuju, aku ikut).”
Fahmi lalu menemui Gus Mus dengan menyatakan, kalau Gus Dur menjadi anggota MPR, maka dia akan bisa mempengaruhi pemikiran orang-orang di sana sekaligus bisa berdiskusi dengan Soeharto. Gus Mus sendiri menyakini bahwa hal itu sulit, meski bagi orang secerdas Gus Dur. Ia pun tak setuju Gus Dur menjadi anggota MPR. Tapi, Fahmi tak putus harapan. Dia terus membujuk Gus Dur.
Di balik kegigihan dr. Fahmi itu, Gus Mus menangkap hal lain yang sebenarnya tidak seserius itu. Dia ingin agar Gus Dur nantinya sering pakai sepatu ke mana-mana, tidak pakai sandal terus. Agar Gus Dur mempersiapkan diri menjadi pemimpin bangsa yang besar. Menjadi presiden.
Bujukan Fahmi pun berhasil. Gus Dur akhirnya mau masuk Golkar dan menjadi anggota MPR, setelah sebelumnya menjadi juru kampanye PPP. Masuknya Gus Dur ke Golkar ini menimbulkan kontroversi hebat. Ada yang setuju dan ada yang protes keras.
Dalam amatan Gus Mus, banyak orang NU yang tak mengerti betapa hebatnya Pak Fahmi ini. Dia NU tulen, bukan hanya 100 persen, tetapi 1000 persen, dan dialah yang merencanakan jauh-jauh dan memimpikan Gus Dur jadi presiden, dengan mengajarinya memakai sepatu.
Kisah, Humor dan Nasehat Gus Dur
Selasa, 24 Januari 2017
Belum Saya Rumuskan (Kelit Gus Dur)
Gus Mus bercerita tentang sebuah fase saat Gus Dur aktif menulis dan bicara tentang banyak disiplin: sosial, kebudayaan, politik, keagamaan, musik, sepak bola, dan lainnya.
Suatu hari di tahun-tahun itu, Gus Dur banyak bicara soal Islam dan negara, Islam dan kebangsaan, Islam dan demokrasi. Gus Dur diundang Arief Budiman, sosiolog dan tokoh golput termasyhur itu, sebagai pembicara utama dalam perbincangan ilmiah yang membahas tema-tema tersebut.
Gus Dur tampil dengan pikiran-pikirannya yang brilian, sebagaimana biasanya. Gus Dur mengurai satu per satu konsep yang pernah ada, pernah dibicarakan para pemikir dan cendekiawan Muslim dunia. Gus Dur juga menyampaikan kelebihan dan mengkritik kekurangan mereka masing-masing.
Tapi, uraian Gus Dur berakhir dengan kesimpulan yang membingungkan para peserta seminar. Gus Dur dianggap tak secara jelas dan utuh membicarakan tema tersebut. Nah, Matori Abdul Jalil yang menemani Gus Dur gelisah. Dia khawatir Gus Dur diserang habis-habisan oleh para pakar yang hadir dan tidak bisa menjawabnya.
Nah, yang dikhawatirkan oleh Matori benar-benar terjadi. Pertanyaan itu diajukan oleh salah seorang peserta. “Apakah ada konsep atau sistem dan bentuk negara menurut Islam?” Tapi, dengan santai Gus Dur menjawab, “Itu yang belum saya rumuskan.”
Gus Dur Merumuskan Relasi Pancasila-Islam (Oleh : Gus Mus)
Gus Mus bercerita tentang hal lain yang menarik dari sosok Gus Dur. Ketika Gus Dur memimpin rapat soal Pancasila pada Muktamar ke-27 di Situbondo 1984, momen NU kembali ke khittah 1926 yang bersejarah itu.
Gus Mus mengambil intisari cerita bahwa saat itu ada tiga komisi, salah satunya adalah komisi khittah yang membahas paradigma, gagasan dasar, dan konsep hubungan Islam dan Pancasila. Dua komisi yang lain membicarakan soal keorganisasian dipimpin oleh Dr. Zamroni, dan komisi AD/ART dipimpin K.H. Tholhah Mansur. Mereka membahasnya di tempat berbeda, dan dengan jumlah anggota rapat komisi yang cukup banyak.
Gus Dur memimpin subkomisi yang merumuskan hubungan Islam dan Pancasila. Beliau kemudian menunjuk lima orang kiai sebagai anggotanya, salah satunya Gus Mus. Empat lainnya adalah K.H. Dr. Hasan dari Medan, K.H. Zahrowi, K.H Mukafi Makki, dan dr. Muhammad dari Surabaya.
Gus Dur membuka rapat. Lalu bertanya kepada satu per satu tentang pendapat masing-masing mengenai Pancasila dan Islam. Mereka menyampaikan pandangannya satu per satu sila dalam Pancasila itu, berikut sejumlah argumen keagamaannya. Gus Dur mendengarkan dengan penuh perhatian.
Pancasila menurut mereka tidak bertentangan dengan Islam, malahan sejalan. Pancasila itu sejalan dengan Islam. Pancasila itu islami, simpul mereka. Usai mereka menjawab, Gus Dur bilang, “Bagaimana jika ini saja yang nanti kita sampaikan, kita deklarasikan di hadapan sidang pleno muktamar?” Mereka setuju, sepakat bulat, lalu rapat ditutup. “Al-Fatihah.” Gus Dur pun tersenyum manis.
Gus Mus mengakui itulah kehebatan Gus Dur. Bagaimana tidak, rapat untuk sesuatu yang mendasar bagi penataan relasi kehidupan berbangsa dan bernegara hanya diputuskan dalam 10 menit, sementara komisi yang lain berjam-jam, bahkan ada yang sampai subuh! Sesudah bersepakat, Gus Dur bersama Gus Mus dan empat kiai lainnya ngobrol ngalor-ngidul sambil bercanda dan terkekeh-kekeh.
Gus Dur Mengorbitkan Gus Mus (Oleh : Gus Mus)
Gus Mus mengaku bahwa karir kepenyairan dirinya tak lepas dari peran Gus Dur. Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memintanya untuk membaca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Gus Mus mengisahkan bahwa dalam acara rapat para pengurus DKJ, Gus Dur melontarkan gagasan menyelenggarakan acara Malam Solidaritas untuk Palestina. Acara itu merupakan bentuk simpatinya terhadap rakyat Palestina yang sedang berjuang untuk merebut kembali tanah air mereka yang dicaplok Israel. Mereka adalah bangsa tertindas dan terusir dari tempat kelahirannya.
Dalam rapat, para pengurus sepakat atas gagasan itu. Lalu, Gus Dur mengusulkan agar acara diisi dengan pembacaan puisi-puisi karya para penyair Palestina.
Gus Dur pun menelepon dan meminta Gus Mus untuk membaca puisi bahasa Arab. Gus Mus bingung. Tapi karena Gus Dur yang meminta, ia pun tak bisa menolak. Lalu, dicarilah puisi-puisi para penyair terkemuka Palestina. Lemari kitab dan buku ia buka. Saat sudah menemukan puisi-puisi itu, ia kembali bingung. “Bagaimana cara membacanya? Gayanya bagaimana? Akting-nya seperti apa? Tangannya harus bagaimana? Apakah seperti anak-anak sekolah yang berdeklamasi itu?”
Hari pementasan pun tiba. Berada di arena acara di TIM sebelum mentas, Gus Mus bertemu dengan banyak penyair kondang nan hebat, salah satunya Subagyo Sastrowardoyo. Ia melihat Subagyo sedang tekun membaca atau menghafal puisi-puisi di sebuah sudut ruangan.
Menurut rencana awal, para penyair itu akan membacakan puisinya terlebih dulu, Gus Mus sebagai pembaca pamungkas. Tapi, tiba-tiba susunan berubah setelah salah seorang penyair mengusulkan agar puisi Arab didahulukan. Gus Mus membaca puisi di awal. Perubahan alur itu membuat dada Gus Mus berdegup-degup; ia merasa gugup dan cemas. Tapi Gus Mus cepat menguasai keadaan, ia sudah mendapat pelajaran dari cara Subagyo membaca puisi.
Saat tiba waktunya, Gus Mus pun tampil tanpa rasa gugup. Ia merasa biasa-biasa saja dengan membawakan puisi seperti membaca tulisan biasa, datar-datar saja, tidak berlagu intonasi naik-turun.
Itulah debut Gus Mus pertama membaca puisi di ruang publik nasional bergengsi. “Sejak itu, orang menyebut saya sebagai penyair. Sampai sekarang aku jadi sering diundang ke sana kemari, bahkan sampai ke luar negeri untuk membaca puisi dan ceramah agama,” kenang Gus Mus.
Gus Mus bilang, ternyata membaca puisi itu iso sa’karepe dewek, ga ono aturane, bisa semau-maunya sendiri, tidak ada aturannya.
Gus Mus mengisahkan bahwa dalam acara rapat para pengurus DKJ, Gus Dur melontarkan gagasan menyelenggarakan acara Malam Solidaritas untuk Palestina. Acara itu merupakan bentuk simpatinya terhadap rakyat Palestina yang sedang berjuang untuk merebut kembali tanah air mereka yang dicaplok Israel. Mereka adalah bangsa tertindas dan terusir dari tempat kelahirannya.
Dalam rapat, para pengurus sepakat atas gagasan itu. Lalu, Gus Dur mengusulkan agar acara diisi dengan pembacaan puisi-puisi karya para penyair Palestina.
Gus Dur pun menelepon dan meminta Gus Mus untuk membaca puisi bahasa Arab. Gus Mus bingung. Tapi karena Gus Dur yang meminta, ia pun tak bisa menolak. Lalu, dicarilah puisi-puisi para penyair terkemuka Palestina. Lemari kitab dan buku ia buka. Saat sudah menemukan puisi-puisi itu, ia kembali bingung. “Bagaimana cara membacanya? Gayanya bagaimana? Akting-nya seperti apa? Tangannya harus bagaimana? Apakah seperti anak-anak sekolah yang berdeklamasi itu?”
Hari pementasan pun tiba. Berada di arena acara di TIM sebelum mentas, Gus Mus bertemu dengan banyak penyair kondang nan hebat, salah satunya Subagyo Sastrowardoyo. Ia melihat Subagyo sedang tekun membaca atau menghafal puisi-puisi di sebuah sudut ruangan.
Menurut rencana awal, para penyair itu akan membacakan puisinya terlebih dulu, Gus Mus sebagai pembaca pamungkas. Tapi, tiba-tiba susunan berubah setelah salah seorang penyair mengusulkan agar puisi Arab didahulukan. Gus Mus membaca puisi di awal. Perubahan alur itu membuat dada Gus Mus berdegup-degup; ia merasa gugup dan cemas. Tapi Gus Mus cepat menguasai keadaan, ia sudah mendapat pelajaran dari cara Subagyo membaca puisi.
Saat tiba waktunya, Gus Mus pun tampil tanpa rasa gugup. Ia merasa biasa-biasa saja dengan membawakan puisi seperti membaca tulisan biasa, datar-datar saja, tidak berlagu intonasi naik-turun.
Itulah debut Gus Mus pertama membaca puisi di ruang publik nasional bergengsi. “Sejak itu, orang menyebut saya sebagai penyair. Sampai sekarang aku jadi sering diundang ke sana kemari, bahkan sampai ke luar negeri untuk membaca puisi dan ceramah agama,” kenang Gus Mus.
Gus Mus bilang, ternyata membaca puisi itu iso sa’karepe dewek, ga ono aturane, bisa semau-maunya sendiri, tidak ada aturannya.
Jumat, 21 Oktober 2016
Sudah Tutup (Oleh: Sila Syahputra.S)
Sudah Tutup
Perdana Menteri Atif Ubaid itu ternyata juga tukang ngocol yang nyaris profesional.
“Di Kairo pernah diberlakukan jam malam”, dia bercerita kepada Presiden Abdurrahman Wahid, “di atas jam delapan malam, orang tak boleh keluar rumah, toko-toko harus sudah tutup, termasuk kios tukang cukur”.
Suatu malam, seorang pelanggan datang ke tukang cukur jam delapan kurang seperempat. Tukang cukur menggarapnya, tapi tentu saja seperempat jam tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya. Jam delapan persis, ia tutup jendela kios dan gordennya, pintu ia sisakan secelah kecil saja, lalu meneruskan urusannya dengan pelanggan itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi mobil direm mendadak hingga berdecit-decit, disusul pintu-pintu ditutup dengan keras dan derap sepatu lars bergerudugan. Tukang cukur tanggap. Serta-merta ia kerudungkan handuk ke kepala pelanggan, lalu memberes-beresi peralatan dan membersihkan mejanya.
“Braakkk!” pintu kios dibuka dengan kasar.
“Belum tutup ya!” Polisi Militer membentak.
“Sudah, Pak… ini sedang berbenah…”
Polisi Militer mengamati seantero ruangan dengan mata garang, sampai ia temukan seonggok kepala tertutup handuk di kursi pelanggan itu.
“Apa ini?” senjata dikokang dan ditodongkan.
“Jangan, Pak..!” tukang cukur gugup, “ini kan cuma saya simpan disini untuk dikerjakan besok…”
Perdana Menteri Atif Ubaid itu ternyata juga tukang ngocol yang nyaris profesional.
“Di Kairo pernah diberlakukan jam malam”, dia bercerita kepada Presiden Abdurrahman Wahid, “di atas jam delapan malam, orang tak boleh keluar rumah, toko-toko harus sudah tutup, termasuk kios tukang cukur”.
Suatu malam, seorang pelanggan datang ke tukang cukur jam delapan kurang seperempat. Tukang cukur menggarapnya, tapi tentu saja seperempat jam tidak cukup untuk menyelesaikan pekerjaannya. Jam delapan persis, ia tutup jendela kios dan gordennya, pintu ia sisakan secelah kecil saja, lalu meneruskan urusannya dengan pelanggan itu.
Tiba-tiba terdengar bunyi mobil direm mendadak hingga berdecit-decit, disusul pintu-pintu ditutup dengan keras dan derap sepatu lars bergerudugan. Tukang cukur tanggap. Serta-merta ia kerudungkan handuk ke kepala pelanggan, lalu memberes-beresi peralatan dan membersihkan mejanya.
“Braakkk!” pintu kios dibuka dengan kasar.
“Belum tutup ya!” Polisi Militer membentak.
“Sudah, Pak… ini sedang berbenah…”
Polisi Militer mengamati seantero ruangan dengan mata garang, sampai ia temukan seonggok kepala tertutup handuk di kursi pelanggan itu.
“Apa ini?” senjata dikokang dan ditodongkan.
“Jangan, Pak..!” tukang cukur gugup, “ini kan cuma saya simpan disini untuk dikerjakan besok…”
Minggu, 25 September 2016
Modal Dengkul (Guyon Ala Gus Dur)
Ceritanya Gus Dur sedang nonton TV bersama kawannya. Dia melihat hingar bingar kampanye Pemilihan Presiden yang bikin pusing.
Gus Dur pun nyeletuk. "Ngapain repot-repot amat mau jadi presiden. Saya jadi presiden cuma modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais."
Kontan semua di ruangan itu tertawa. Ini humor-humor Gus Dur lain yang bikin ngakak:
Gus Dur pun nyeletuk. "Ngapain repot-repot amat mau jadi presiden. Saya jadi presiden cuma modal dengkul. Itu pun dengkulnya Amien Rais."
Kontan semua di ruangan itu tertawa. Ini humor-humor Gus Dur lain yang bikin ngakak:
Senin, 12 September 2016
Doa Sebelum Makan (Oleh :Sila Syahputra.S)
Doa Sebelum Makan
Gus Dur bercanda dengan para pastor di Semarang. Ada seorang pastor yang punya hobi aneh, berburu binatang buas, kata Gus Dur. Setiap hari Minggu, selesai misa ia pergi ke hutan.
Ketika ia melihat seekor harimau langsung saja ia menarik pelatuk senapan dan ia pun menembak. “Dor, dor, dor!”
Ternyata tembakannya meleset. Dan….. Harimau balik mengejar. Sang pastor yang langsung berlari terbirit-birit.
Namun sialnya, di depan sang pastor berhadapan dengan da jurang yang sangat dalam. Ia harus berhenti. Ia pasrah, berlutut. Harimau mendekatinya perlahan, siap menerkam.
Jantung sang pastor berdegub semakin kencang. Ia mengatupkan tangannya, berdoa dan menutup mata.
Ia berdoa lama sekali. Sang pastor terheran-heran karena ternyata ia masih hidup. Ia menoleh ke samping. Dilihatnya harimau itu terdiam di sampingnya sambil mengatupkan kedua kaki depannya, seperti sedang berdoa.
Sang pastor bertanya kepada harimau, “Kenapa, kamu kok tidak menerkam saya, malah ikut-ikutan berdoa?”
“Ya saya sedang berdoa. Berdoa sebelum makan!” kata harimau.
Gus Dur bercanda dengan para pastor di Semarang. Ada seorang pastor yang punya hobi aneh, berburu binatang buas, kata Gus Dur. Setiap hari Minggu, selesai misa ia pergi ke hutan.
Ketika ia melihat seekor harimau langsung saja ia menarik pelatuk senapan dan ia pun menembak. “Dor, dor, dor!”
Ternyata tembakannya meleset. Dan….. Harimau balik mengejar. Sang pastor yang langsung berlari terbirit-birit.
Namun sialnya, di depan sang pastor berhadapan dengan da jurang yang sangat dalam. Ia harus berhenti. Ia pasrah, berlutut. Harimau mendekatinya perlahan, siap menerkam.
Jantung sang pastor berdegub semakin kencang. Ia mengatupkan tangannya, berdoa dan menutup mata.
Ia berdoa lama sekali. Sang pastor terheran-heran karena ternyata ia masih hidup. Ia menoleh ke samping. Dilihatnya harimau itu terdiam di sampingnya sambil mengatupkan kedua kaki depannya, seperti sedang berdoa.
Sang pastor bertanya kepada harimau, “Kenapa, kamu kok tidak menerkam saya, malah ikut-ikutan berdoa?”
“Ya saya sedang berdoa. Berdoa sebelum makan!” kata harimau.
Langganan:
Postingan (Atom)