Gus Mus mengaku bahwa karir kepenyairan dirinya tak lepas dari peran Gus Dur. Gus Dur yang saat itu menjabat sebagai ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) memintanya untuk membaca puisi di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Gus Mus mengisahkan bahwa dalam acara rapat para pengurus DKJ, Gus Dur melontarkan gagasan menyelenggarakan acara Malam Solidaritas untuk Palestina. Acara itu merupakan bentuk simpatinya terhadap rakyat Palestina yang sedang berjuang untuk merebut kembali tanah air mereka yang dicaplok Israel. Mereka adalah bangsa tertindas dan terusir dari tempat kelahirannya.
Dalam rapat, para pengurus sepakat atas gagasan itu. Lalu, Gus Dur mengusulkan agar acara diisi dengan pembacaan puisi-puisi karya para penyair Palestina.
Gus Dur pun menelepon dan meminta Gus Mus untuk membaca puisi bahasa Arab. Gus Mus bingung. Tapi karena Gus Dur yang meminta, ia pun tak bisa menolak. Lalu, dicarilah puisi-puisi para penyair terkemuka Palestina. Lemari kitab dan buku ia buka. Saat sudah menemukan puisi-puisi itu, ia kembali bingung. “Bagaimana cara membacanya? Gayanya bagaimana? Akting-nya seperti apa? Tangannya harus bagaimana? Apakah seperti anak-anak sekolah yang berdeklamasi itu?”
Hari pementasan pun tiba. Berada di arena acara di TIM sebelum mentas, Gus Mus bertemu dengan banyak penyair kondang nan hebat, salah satunya Subagyo Sastrowardoyo. Ia melihat Subagyo sedang tekun membaca atau menghafal puisi-puisi di sebuah sudut ruangan.
Menurut rencana awal, para penyair itu akan membacakan puisinya terlebih dulu, Gus Mus sebagai pembaca pamungkas. Tapi, tiba-tiba susunan berubah setelah salah seorang penyair mengusulkan agar puisi Arab didahulukan. Gus Mus membaca puisi di awal. Perubahan alur itu membuat dada Gus Mus berdegup-degup; ia merasa gugup dan cemas. Tapi Gus Mus cepat menguasai keadaan, ia sudah mendapat pelajaran dari cara Subagyo membaca puisi.
Saat tiba waktunya, Gus Mus pun tampil tanpa rasa gugup. Ia merasa biasa-biasa saja dengan membawakan puisi seperti membaca tulisan biasa, datar-datar saja, tidak berlagu intonasi naik-turun.
Itulah debut Gus Mus pertama membaca puisi di ruang publik nasional bergengsi. “Sejak itu, orang menyebut saya sebagai penyair. Sampai sekarang aku jadi sering diundang ke sana kemari, bahkan sampai ke luar negeri untuk membaca puisi dan ceramah agama,” kenang Gus Mus.
Gus Mus bilang, ternyata membaca puisi itu iso sa’karepe dewek, ga ono aturane, bisa semau-maunya sendiri, tidak ada aturannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar